Renjana Laut Timur
Surabaya, 3 Mei 2023
CERPEN


Akan ku kisahkan engkau..., tentang Renjana. Seorang gadis bermata cokelat yang berhias rambut hitam pekat se-pinggang. Aku tak peduli bagaimana engkau mengilustrasikannya, karena itu tidak penting. Dibalik hidung mancung dan gigi gingsulnya itu, tersimpan sebuah kisah tentang seorang wanita pesisir yang dipermainkan hatinya oleh seorang pria tak bertanggung-jawab.
Papua 21 Januari, di sebuah dusun kecil dipinggir pantai, pantai yang seperti seharusnya. Desiran ombak..., sapuan lembut angin timur, pasir putih yang hangat, buih-buih yang menopang keindahan mega kala senja. Setia memantulkan cahaya kemerah-merahan itu pada sepasang mata Renjana. Entahlah, tentunya juga tercium bau lautan yang bisa membuat tiap orang jatuh cinta. Suasana ini terjadi, tepat saat sepasang mata Renjana berpapasan dengan se-sosok pria. Pria berambut keriting, tinggi, tegap, namun sipit matanya. Membuat Renjana bertanya-tanya, komposisi macam apa yang Tuhan tuangkan pada makhluk-Nya satu ini ?. Dari caranya tersenyum dan bicara..., Renjana tau, makhluk ini bukan berasal dari timur.
Saat sepasang mata Renjana bertemu dengan mata si-sipit itu, ia langsung memalingkan pandang, karena jika saja ia menatapnya lebih lama lagi, mungkin tidurnya malam itu tidak akan nyenyak !. Ia pasti memikirkan segala hal yang mungkin akan dilakukan bersama pria itu.
“Segelas lemon tea..., segelas kopi pahit, di sepasang kursi malas, sembari memandang laut yang berdesir sendu. Barangkali juga secarik puisi yang dibacakan si-sipit itu untuk dirinya, dan hanya untuknya seorang.”
Imaji itu terasa aneh. Karena Renjana sadar, ia hanya dua detik berpapas pandang dengan si-sipit itu. “Barangkali imajinasi-ku menjadi nyata.” pikir Renjana.
Namun setelah beberapa lama berbincang dengan kedua kawannya yang di sela-sela itu berhias senyum manis dari bibir tipis, dan mata sipitnya. Tiba-tiba sang pria menghilang bagai diculik ombak kala senja. Renjana mulai gelisah !, dan dicarilah si-sipit itu. Dari ujung pulau, ditanyai-nya seorang nenek tua, gelandangan, bahkan penjaga pantai..., namun hasilnya nihil. Berlarilah ia juga ke pangkal pulau. Ditanyai-nya burung cendrawasih, pohon kelapa, nyiur desir ombak yang berkeretap pada buih jingga yang kian-lama kian-redup itu. Namun yang di dapatinya, hanyalah kekosongan.
Di sebuah malam, di teras rumahnya. Renjana terlalu lelah bertanya pada orang-orang tentang siapa sebenarnya pria itu ?. Ia pun berakhir di sebuah kursi kayu, sembari memandang purnama yang menghiasi laut gelap, yang seolah melebur tabir antara ruang, waktu, dan hasratnya. Renjana tak bisa berhenti memikirkan segala kemungkinan untuk segera bertemu dengan si-sipit itu. Dibukalah sebuah buku dengan sampul motif Edelweis, yang didalamnya berisi tumpahan-tumpahan perasaan, yang sering kali hilang digulung ombak.
“Barangkali..., asyik jika aku menulis dipinggir pantai.” Pikir Renjana.
Turunlah ia dari rumah panggung itu, dan disusupkan-nya kedua kaki mungil itu kedalam pasir yang hangat. Sembari menulis..., sembari memandang..., sembari ber-angan.
“Jika aku bertemu kau !, ku pastikan akan ku-jambak rambut keritingmu, lantas ku-seret dan kumasukkan kau kedalam hatiku !. Ku pastikan kau tidak akan mati, atau kelaparan. Karena aku ingin kau abadi di dalamnya.” Begitu tulisnya.
Namun tulisan penuh hasrat itu, tidak membuat keadaan membaik. Salah-salah, hatinya malah makin hancur. Karena semesta tidak memberi waktu untuk sekedar menikmati serpihan indah dalam wujud mata sipit, senyum tipis, dan rambut keriting itu. Yang keras kepala tak mau keluar dari imaji Renjana. Hari makin larut, purnama makin angkuh !, dan desir ombak..., sayup-sayup menguasai alam bawah sadar Renjana. Dan dengan sapuan lembut angin malam itu, membawa Renjana ke-alam lelap tanpa permisi, terhanyut dalam kabut mimpi yang entah itu nyata atau tidak. Dalam alam mimpi, Renjana melihat dirinya yang sedang duduk di-tepi pantai, sembari menulis sebuah puisi. Puisi..., yang takkan pernah ia ingat selamanya.
Renjana
Hai Renjana...
Aku adalah Renjanamu
Renjana yang selalu membawamu Masuk ke sela-sela hasrat semu itu.
Renjana yang egois !
Yang tanpa permisi, Membisikkan imaji itu padamu.
Barangkali semua angan semu itu Membentuk sebuah kejadian,
Dan kejadian itu menjadi nyata.
Namun sekeras apapun kau menciptakannya...
Semua itu hanya akan menjadi angan, Hanya jadi sebuah hasrat,
Yang tak akan pernah nyata.
Aku adalah Renjanamu, Hasratmu,
Dan imajimu.
Ku harap engkau segera sadar Dan melupakan semua tentangnya.
Surabaya, 3 Mei 2023 Ardan Putra Widodo.
